“Kenapa
kamu berlari dengan ketakutan ?” tanyaku sambil menggigit sedotan minuman yang
masih tertancap pada botol minuman yang isinya hampir habis. “Aku menunggu
seseorang di persimpangan jalan sana, selama sejam aku menunggunya” jawabnya
dengan wajah yang kecewa. “kalau boleh tahu, siapakah orang yang kamu tunggu ?”
, “ibuku” ujarnya. Kita terdiam sejenak di bawah pohon itu hanya rintihan
hujanlah yang terdengar.
Aku tak berani untuk melanjutkan
percakapan itu, Aku takut menyakitinya jika Aku melanjutkan percakapan itu. Hujan
mereda Rence berjalan pulang dengan tubuh yang sedikit merunduk yang mengartikan
dia tak ingin diganggu. Aku mengikutinya dari belakang tanpa mengeluarkan suara,
bahkan suara pijakan kakiku saja Aku takut mengganggunya.
Keesokan harinya, Rence menemuiku dengan
membawa satu slot minuman yakult lalu melemparkannya padaku, “nih untukmu Meil
!” dengan tersenyum Aku menjawab “Terima kasih, apa yang sedang terjadi ?”,
“entahlah, tak terjadi apa-apa menurutku.” Rence menjawab dengan menatapku.
Bahasa tubuh seorang pendiam yang pintar membunyikan sesuatu itulah yang aku
kenal darinya hingga saat ini.
............................................................
Kita
berangkat sekolah bersama, Rence selalu memboncengku. Meskipun kita berbeda
kelas, Rence adalah kakak kelasku akan tetapi Rence tetap sebagai seorang teman
yang sangat dekat dan begitu hangat.
Ayah Rence adalah seorang pemilik
pabrik kakao, jadi Rence dan Ayahnya adalah warga pindahan dari kota yang
menetap di desaku selama lima belas tahun sejak Rence berumur dua tahun. Dari
dulu Aku memang tidak pernah mengetahui Ibu Rence, karena yang Aku tahu
hanyalah Rence dengan Ayahnya.
Ketika Rence lulus, Rence
merencenakan jika Ia akan bersekolah ke kota. Rence adalah siswa pintar di
sekolah, bahkan Ia adalah satu-satunya siswa yang lancar berbahasa inggris.
“Apakah kamu akan melanjutkan sekolah di universitas ternama di kota sana, Ren
?” tanyaku diperjalanan pulang, “iya Meil, Aku ingin bersekolah di ibukota sana,
apalagi Aku sangat merindukan ibuku.” Ujarnya dengan senyum kebahagian dan tangan
yang satu menggenggam rapor dengan nilai
yang sangat memuaskan, seakan harapannya akan benar-benar terjadi. Aku hanya
bisa tersenyum dan mendoakannya semoga terkabul harapannya. Meskipun Aku tidak
ingin jauh dari Rence.
Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs